Image
  IKAN ARWANA IRIAN Sumber: https://gerava.com/ikan-arwana-irian-perawatan-ciri-ciri-harga-gambar/ Kenalkan, aku adalah Ikan Arwana Irian. Masyarakat Papua memanggilku dengan nama ikan Kaloso. Namun aku lebih terkenal dengan sebutan ikan Jardini. Nama tersebut diambil dari nama latinku yaitu Scleropages Jardinii. Aku banyak ditemukan di Papua, terlebih lagi di sungai dan rawa-rawa yang   berada di Kabupaten Merauke. Sisikku berkilauan sangat indah jika terkena cahaya dari sudut yang tepat. Karenanya, aku juga sering disebut sebagai arwana mutiara. Mulanya, aku sering ditangkap oleh nelayan penduduk Papua untuk dijadikan santapan sehari-hari. Namun karena kecantikanku, banyak orang menjadikanku ikan hias di akuarium. Semenjak menjadi ikan hias, aku banyak dicari oleh orang-orang luar daerah termasuk dari luar negeri. Permintaan sangat banyak, sedangkan populasiku semakin menurun. Hal itu menyebabkan aku menjadi hewan langka yang dilindungi. Aku hidup di perairan yang berger

Raden Dewi Sartika

 Judul Buku : Raden Dewi Sartika

Penulis : E. Rokajat Asura

Penerbit : Penerbit Imania - Tangerang 2019 

Tebal Buku : 422 halaman

Tahun terbit : 2019


“Jika kau percaya hidup bukanlah menunggu badai berlalu, tapi tentang belajar menari di tengah hujan, jangan sekali-kali kamu gadaikan kegelisahan pada “jika” dan “nanti” agar tidak kehilangan kebahagiaan yang melimpah di sini dan saat ini.” (Raden Ayu Rajapermas, Ibunda Raden Ayu Dewi Sartika, dalam novel biografi Raden Dewi Sartika hal.194).

Pertama kali melihat buku ini, rasanya agak berat untuk membukanya. Apalagi melihat covernya yang ‘sejarah’ banget. Dalam pikiran saya, pastilah buku ini berisi sejarah yang biasanya begitu berat saat dibaca. Tapi keingintahuan tentang Raden Dewi Sartika membuat saya harus membuka dan membacanya. Terus terang, selama ini saya hanya mengenal Raden Dewi Sartika sedikit saja: bahwa ia pahlawan pendidikan dari Jawa Barat yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri atau Sakola Raden Dewi. Raden Dewi berasal dari turunan ningrat dan sejak kecil suka main sasakolaan (main sekolah-sekolahan). Sudah, itu saja yang saya tahu. Selebihnya, mengenai bagaimana perjuangan beliau dan kiprahnya di dunia pendidikan, sama sekali tidak tahu.

Beberapa lembar halaman pertama saya buka: halaman judul, halaman dangding Sunda Raden Dewi Sartika, dan halaman pra kata. Pada halaman pra kata saya baca berulang-ulang. Kemudian, saya buka lembar demi lembar dari bagian satu, bagian dua, dan seterusnya. Dan kemudian, saya tidak bisa berhenti membaca dan melepaskan buku ini. Ternyata, isinya begitu jauh dari apa yang saya bayangkan. Saat itu saya langsung ingat pribahasa yang mengatakan _‘Don’t judge a book by its cover’_ , ‘Jangan menilai buku dari sampulnya’, tapi dalam arti yang sebenarnya.

Buku ini bukanlah buku sejarah biasa, tapi sebuah novel biografi yang dikemas dengan gaya bahasa yang begitu apik. Saya ingat bagaimana saat penulis menggambarkan Dewi Sartika saat kecil yang lincah dan begitu menggemaskan.  Saat itu saya serta merta membayangkan saat Tasya, penyanyi cilik, menyanyikan lagu ‘Libur Tlah Tiba’.

Jika dikatakan bahwa Raden Dewi Sartika adalah keturunan ningrat adalah betul sekali. Tapi bukan karena itu yang lantas menjadikannya dengan mudah membuat sekolah untuk anak perempuan. Ia menikmati keningratannya hanya sampai usia 9 tahun. Dan pada usia itu pula kehidupannya berubah total. Ayahnya dibuang ke Ternate karena dianggap sebagai pemberontak. Ibunya ikut serta. Raden Dewi Sartika sendiri dititipkan ke uwaknya yang berada di Cicalengka. Uwaknya adalah seorang Patih Cicalengka. Sejak saat itu hidupnya berubah total. Di Cicalengka, ia bukan lagi berperan sebagai ningrat, tetapi menjadi abdi dalem. Ia bekerja sebagai pembantu dan tidur di ruangan pembantu. Caci maki dari pembantu lain yang berada di sana ia terima setiap hari. Saat di Cicalengka itulah ia bermain sasakolaan di belakang kandang kuda, yang kemudian dihentikan karena tidak diperbolehkan. Tetapi, Raden Dewi tetap melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

Delapan tahun berada di rumah pamannya membuat Raden Dewi Sartika tertempa baik secara fisik maupun psikis. Tak tergambarkan tempaan hidup yang ia alami di sana. Saat membaca bagian ini, saya jadi teringat novel _The Little Princess_ karya Francess Hodgson Burnett terbitan Penguin Books. Ceritanya hampir sama: gadiskecil yang orang tuanya menjadi jatuh miskin. Orang tua gadis itu meninggal dan ia dititipkan pada seorang Lady di Perancis. Di akhir cerita , gadis kecil itu mendapatkan lagi kekayannya. Namun, itu hanyalah sebuah dongeng. Lain halnya dengan Raden Dewi yang kemudian berjuang terus seumur hidup.

Delapan tahun kemudian, Ibu Raden Dewi kembali dari pengasingan sementara ayahnya sudah meninggal. Dewi Sartika pun kembali ke Bandung bersama-sama ibunya. Bukan ke rumah yang dulu di Kepatihan Bandung, melainkan ke sebuah rumah sederhana yang dikhususkan bagi rakyat jelata. Di sana, Raden Dewi kemudian melakukan lagi ‘sasakolaan’, namun dengan lebih terprogram karena saat itu ia sudah dewasa (sekitar 17/18 tahun). Muridnya saat itu berjumlah 10 orang. Mendapatkan murid itu pun adalah dari hasil jerih payah, karena saat itu perempuan memang tidak diperbolehkan belajar. Orang tua melarang keras anak perempuan untuk belajar baca tulis. Perempuan tidak boleh belajar. Membuka sekolah bagi perempuan berarti melanggar tradisi yang sangat dikultuskan.

Dari sana diceritakan bagaimana perjuangan Raden Dewi hingga bisa mendirikan Sakola Istri, yang kemudian berubah nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri, dan berubah nama lagi menjadi Sakola Raden Dewi. Bukan hal yang mudah mencapai semua itu. Raden Dewi harus bermental baja untuk menghadapi seluruh rintangan yang berada di hadapannya.

Dalam beberapa tahun berselang, Sakola Istri menjadi bahan pembicaraan dan terkenal di seluruh Hindia Belanda. Keberhasilan Raden Dewi membuatnya mendapat penghargaan bintang perak dan bintang emas dari pemerintah Hindia Belanda. Dan dalam pengabdiannya yang ke 36 tahun, Raden Dewi mendapat penghargaan _Ridder in the Orde van Nassau_, sebentuk penghargaan dari Kerajaan Belanda, sebagai perempuan yang berjasa dalam pendidikan pertama anak-anak perempuan. 

Dalam dunia pendidikan saat ini ditekankan bahwa guru harus mengenali karakter peserta didik supaya dapat mengetahui cara pembelajaran yang tepat. Pada masa itu, Raden Dewi Sartika telah menerapkannya berdasarkan pengetahuan yang ia dapat dari sebuah buku Bahasa Belanda yang ia baca. 

“Kita sesungguhnya mengajar setiap anak yang sifat dan kemampuannya satu sama lain berbeda. Tugas kitalah sebagai pendidik untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, bukan untuk menyamaratakannya satu sama lain.” (Raden Dewi Sartika dalam novel biografi Raden Dewi Sartika, hal. 303).

Membaca buku ini membuat saya tertegun-tegun. Dari awal sampai akhir, penuturan penulis begitu berkesan. Banyak hal yang baru saya ketahui saat membaca buku ini. Apalagi setelah membaca daftar pustaka  dan daftar link. Penasaran dengan daftar link yang ada, lantas saya berselancar di dunia maya dengan mengklik daftar link tersebut. Dan, wow…semakin mencengangkan. Ternyata banyak hal yang mungkin selama ini tidak banyak diketahui orang.  

_Finally_, buku ini _recommended_ banget. Dan saran saya, setelah membaca buku ini, _surfing_ juga di internet dari daftar link yang ada di buku tersebut. Dan…kejutan akan menanti. Selamat membaca .

Comments

Popular posts from this blog